Tindak pidana merek adalah delik Aduan di Indonesia. Hal ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, terutama dalam Pasal 100 sampai Pasal 103. Sebagai delik aduan, tindak pidana merek hanya dapat diproses apabila ada laporan atau pengaduan resmi dari pihak yang merasa dirugikan, yaitu pemilik merek yang terdaftar. Tanpa adanya pengaduan dari pemilik merek, penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan.
Delik aduan ini berarti bahwa proses penyidikan dan penuntutan memerlukan persetujuan dari korban pelanggaran, dan korban bahkan dapat mencabut laporannya apabila telah terjadi perdamaian dengan pihak pelaku. Pasal 100 UU Merek mengatur sanksi pidana bagi yang tanpa hak menggunakan merek yang sama persis, dengan ancaman pidana penjara hingga 5 tahun dan denda hingga Rp2 miliar. Untuk pelanggaran merek yang menyerupai secara pokok dengan merek terdaftar (merek mirip), ancaman pidananya adalah penjara sampai 4 tahun dan denda maksimal Rp2 miliar.
Karena bersifat delik aduan, sangat bergantung pada inisiatif dan kesediaan pemilik merek untuk mengajukan pengaduan ke aparat penegak hukum. Kebijakan ini bertujuan memberikan perlindungan bagi hak kekayaan intelektual yang adil dengan memberi ruang bagi korban untuk memutuskan melanjutkan atau tidak proses hukum pidana terhadap pelanggaran merek. Penegakan hukum pidana merek juga didukung oleh penyidik pegawai negeri sipil yang memiliki kewenangan khusus dalam penanganan perkara kekayaan intelektual.
Secara ringkas, pidana merek merupakan delik aduan yang memerlukan laporan korban, sejalan dengan prinsip penegakan hukum yang berorientasi pada perlindungan hak dan itikad baik para pihak dalam perkara merek.
Penulis : MGH